Title : Faith
Cast : - Riza Putri Karisma
- Bisma Karisma
- Tiara
- Reza Anugrah Karisma
- Rafael
Genre : Gajelas. wks.
*
Dulu keluarga kami adalah keluarga yang paling harmonis. Keluarga yang penuh kasih sayang. Keluarga yang saling melengkapi suatu kekurangan dengan kelebihan yang kami miliki. Bahkan, kami semua saling memberikan motivasi satu sama lain apabila ada yang terjatuh agar mereka bangkit kembali, dan semangat menempuh hidup yang keras ini. Namun semua ini hanya sementara, karena semuanya berubah akibat sebuah takdir yang sulit untuk kami terima, yaitu kehilangan salah satu diantara kami untuk selamanya.
***
Nama aku Riza Putri Karisma. Sekarang aku duduk dibangku kelas 2 SMP. Aku hanya tinggal berdua dengan ayahku, Bisma Karisma. Kemana ibuku? Ibuku sudah meninggal setahun yang lalu. Dan sejak itu, aku dan ayahku hanya mengurusi hidup kita masing-masing. Dulu sering terdengar canda dan tawa antara aku dan ayahku. Namun sejak ibuku meninggal, ayahku menjadi sosok yang cuek dan dingin. Tidak kutemukan lagi kehangatan didalam dirinya, yang kutemukan hanyalah sosok dingin yang tak ku kenali. Meski kita berdua hanya mengurusi hidup masing-masing, tetapi aku tahu bahwa dilubuk hatinya yang paling dalam ayahku masih sangat menyanyangiku, buktinya ia masih mau menghidupiku dan membiayakanku sekolah.
“Riza…” panggil seseorang yang sangat ku kenal.
Riza’s Father POV
Aku pulang kerumah dengan di dampingi seseorang. Dan ia akan ku kenalkan dengan anakku, anak yang sudah lama ku acuhkan, sungguh aku ayah yang sangat jahat, aku mengacuhkan dia karena aku sangat terpukul atas kepergian almarhum istriku, padahal anakku tidak salah apa-apa. Aku pun memanggil anakku, Riza untuk datang menghampriku.
“Riza…” panggilku.
“Iya ayah, ada apa?” sahut Riza.
“Cepatlah keluar, ayah ingin mengenalkanmu kepada seseorang.”
“Iya sebentar ayah.” Tak lama Riza pun datang.
“Riza, ayah ingin mengenalkan mu dengan seseorang yang kelak akan menggantikan posisi ibumu.” Riza yang mendengarkan mendelik tak percaya. Sepertinya perkataan ku sangat membuat Riza kaget.
“Apa ayah? Menggantikan posisi ibu? Tidak. Semua tidak akan terjadi. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi ibu ku ayaaah. Sampai kapanpun tidak akan ada.” Balas Riza dengan berderai airmatamu. Sepertinya pernyataanku itu sangat menyakiti hatinya. Namun aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin mencari pendamping hidup baru agar anakku terurus seperti dahulu, agar ia menjadi anak yang penurut bukan seperti orang lain yang kehilangannya ibunya sehingga menjadi anak yang nakal karena tidak ada yang mengurus.
“Riza bersikap sopan lah.” Sentakku. “Perkenalkan nama dia Tiara.”
“Tiara.” Perempuan disampingku pun mulai memperkenalkan namanya dan mengulurkan tangannya kepada Riza sambil tersenyum, ya menurutku senyuman yang sangat manis.
Riza POV
“Tiara.” Perempuan disamping ayahku pun mulai memperkenalkan namanya dan mengulurkan tangannya kepada ku sambil tersenyum, ya menurutku senyuman yang amat sangat terpaksa.
“Riza.” Dan mau tidak mau aku pun harus membalas uluran tangannya agar ayahku tidak marah.
“Riza, dua bulan lagi ayah akan menikah dengan Tiara, ayah harap kamu tidak akan keberatan.” Kata ayahku.
Hah? Apa? Dua bulan lagi? Itu waktu yang amat sebentar untuk aku mengenali dia. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
“Tidak ayah, aku tidak akan setuju jika ayah menikah lagi.”
“Tapi sayangnya, dengan atau tidak persetujuan kamu, ayah akan tetap menikahi dia.” Tegas ayahku, Bisma.
“Hhhh…” sepertinya aku hanya bisa pasrah.
***
Dua bulan pun berlalu. Dan hari ini tepat ayahku melangsungkan pernikahannya dengan Tiara. Aku sama sekali tidak berniat untuk datang kesana. Sepertinya ayah ku pun tak mempermasalahkan itu. Mungkin ia sudah tidak peduli dengan ku.
“Ibu, Riza enggak mau ayah menikah lagi bu. Dan Riza enggak mau Tante itu menggantikan posisi ibu. Bu, Riza kangen sama ibu. Riza mau curhat sama ibu, hiks. Riza mau ketemu ibu meski hanya lewat mimpi. Riza kesepian bu disini, ayah sudah enggak peduli lagi sama Riza, Riza mau hidup seperti dulu lagi, hiks.” Tangisku seraya memeluk selembar foto ibuku.
“Aku sudah enggak kuat nanggung ini sendirian, aku mau curhat sama Rafa.” Ya Rafa, lebih tepatnya Rafael, ia adalah sahabatku, kami sudah berteman sejak kecil. Dulu banyak yang mengerti aku, tapi sekarang hanya Rafa lah yang mengerti aku. Aku pun memutuskan untuk menelfon Rafa.
“Hiks.. Rafa..”
“Iyaa kenapa, Za? Kok kamu nangis? Bukannya seharusnya kamu sedang hadir dipernikahan ayahmu?” Tanya Rafa.
“Iya Raf, tapi aku enggak mau datang, aku belum sanggup nerima kenyataan raf, hiks, aku enggak mau ayahku menikah lagi, aku enggak mau punya ibu baru, aku takut dia bersikap jahat sama aku, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi Raf, cuma kamu yang aku punya sekarang, hiks, lagipula aku juga enggak bakal merepotkan mu terus, hiks Rafa…”
“Sudaaah tenang yaa, Za. Kalau seandainya ibu baru mu bersikap tidak wajar terhadap kamu. Kamu bilang saja sama kamu, berbagi ceritalah sama aku, buat apa kamu punya sahabat tapi kalau semuanya kamu harus nanggung sendirian? Dan aku tidak akan merasa direpotkanmu.”
“Hikss. Makasih Rafa, udah selalu ada buat aku. Hikss, aku enggak tau bagaimana harus membalasnya.”
“Riza ingat ya. Seorang sahabat enggak mengharapkan perbuatannya dibalas. Asal sahabatnya senang, pasti ia juga ikut senang.” Kata Rafa tulus.
“Hiks, Terimakasih Rafa.”
***
Sudah 7 tahun ayahku Bisma menikah dengan Tiara. Pernikahan itu pun membuahkan seorang anak laki-laki yang sangat menyebalkan. Anak itu sudah berumur 6 tahun. Namanya Reza Anugrah Karisma. Aku sama sekali tidak menyukai kehadirannya. Namun apa boleh buat, aku hanya ingin hidup seperti air yang mengalir. Jadi aku hanya bisa membiarkannya, dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suatu ketika, aku yang sedang belajar diganggu oleh adik tiriku, Reza. Ralat, bukan adik tiri tapi adik kandung, karena kita berasal dari ayah yang sama. Dia ingin mencoret-coret tugasku, namun aku tidak perbolehkan. Reza yang kesal pun, akhirnya melemparkan sebuah vas bunga yang ada didekatnya ke arahku. Vas itu pun berhasil mengenai keningku, kening ku pun mengeluarkan darah, aku tidak berbuat apa-apa, aku hanya menahan sakit yang amat perih dikeningku. Aku pun memegang pecahan vas itu, Dan tiba-tiba ayah dan ibu tiriku datang.
“Riza, apa yang kamu berbuat terhadap adikku mu? Hah?” bentak ayahku. Sedangkan Tiara menghampiri anaknya.
“Sayang, kamu enggak apa-apa kan?” Tanya Tiara kepada Reza.
“Kakak ingin melempar aku dengan itu, mama, hikss.” Adu Reza.
Hei. Apa-apaan ini. Reza yang baru berumur 6 tahun pun sudah bisa memutar balikkan fakta seperti itu.
“Riza enggak ngapa-ngapain yah, malah Reza yang melemparku.”
“Riza bisa-bisanya kamu menyalahkan adikmu, dia itu masih kecil, mana mungkin dia berbohong, kata Reza kamu yang ingin mencelakakannya.” Hhh, apa ayahku tidak bisa melihat keningku sudah berlumuran darah seperti ini.
“Sudah yah, hukum saja Riza, Dia sudah ingin mencelakakan anakku, sehingga Reza ketakutan seperti ini.” Cetus Tiara sinis.
“Sebagai hukumannya kamu ikut ayah ayo.” Aku pun hanya bisa pasrah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kepalaku sudah sangat sakit, aku hanya bisa merintih tertahan menahan sakit. Namun sakit ini tidak sebanding dengan sakit yang ada dihatiku, dimana ayah lebih percaya dengan Reza dibanding aku. Dimana kepercayaan ayah terhadapku? Aku tidak butuh apa-apa, yang aku butuhkan hanyalah sebuah kepercayaan.
“Ingat Riza, kamu enggak boleh keluar sampai besok.” Tegas ayah lalu berlalu dari gudang tersebut. Ya, aku dikurungnya digudang. Sungguh ayah sangat tega, padahal aku sudah sakit seperti ini. Gudang ini sangat penuh dengan barang-barang dan debu, sehingga membuatku sulit untuk bernafas.
“Ya Tuhan, tolong Riza ya Tuhan, Riza udah enggak kuat, ambillah nyawa Riza sekarang Ya Tuhan, Riza mau sama ibu saja di akhirat sana. Hiks, hiks, Riza udah enggak tahan tinggal sama ayah, hiks, hati Riza sakiiiiiit, Riza mau ketemu ibu hiks, Riza mau hidup bahagia seperti kupu-kupu yang terbang bebas diluaran sana, Riza juga ingin hidup tenang ya tuhan seperti air yang mengalir dengan tenang. Riza udah enggak tahan yaa tuhan, hiks, hikss,,” setelah itu pandanganku mulai buram, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Entah dimana sekarang aku berada. Ditempat ini begitu indah, aku bagaikan berada diantara bumi dan akhirat. Aku seperti sudah mati, tapi aku merasa aku masih hidup.
“Riza.”
“Ibuuu?”
“Ini Ibu, nak. Kembalilah sayang.”
“Ini dimana, bu? Tempat ini begitu indah, apalagi ada ibu disini. Aku tidak ingin kembali. Aku mau sama ibu. Hiks.” Rengekku.
“Kamu tidak perlu tahu ini ada dimana. Tidak sayang, kamu tidak bisa ikut ibu, karena belum saatnya kamu bersama ibu.”
“Hiks,, tapi aku kangen ibu.”
“Jika kamu kangen ibu, lihatlah ke atas langit sayang, lihatlah ribuan bintang di atas sana. Carilah bintang yang paling bersinar, itulah ibu yang akan selalu menjagamu diatas sana. Waktu ibu sudah habis, kembali lah nak.” Kata Ibu ku, kemudian semakin lama, bayangan ibuku semakin hilang, hilang, dan hilang sehingga tak terlihat lagi.
“Ibuuuuuuuuuu……..”
“Hhhh, hhh,”
“Ini semua seperti kenyataan, tapi semuanya hanya mimpi. Dan kenapa aku bisa dikamar?” gumamku. Aku bingung, karena aku sudah tak mengingat kejadian sebelumnya. Aku pun keluar kaar, untuk mengambil minum.
“Tiara, semua perhiasan almarhum istriku hilang. Apakah kau melihatnya?” tiba-tiba saat aku menuju dapur, aku mendengar ayahku berbicara, dan aku pun mengupingnya.
“Tidak, mas, karena aku tidak mengusik barang-barang milik almarhum istrimu. Lagipula bila aku mau, aku bisa memintamu untuk membelikannya.” Balas Tiara.
“Lalu, siapa yang mengambil semua perhiasan ini?” Tanya Bisma penuh amarah.
“Mungkin Riza.” What? Kenapa selalu aku yang dibawa-bawa. Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, masuk ke kamar ayah pun tak pernah.
“Apa? Riza?” gumam Bisma.
“Rizaaaaaaaaaaaaa…” pekik Bisma. Aku pun yang dipanggilnya langsung menghampiri ayahku.
“Apa benar kamu yang mencuri semua perhiasan ibumu?” Tanya Bisma.
“Tidak ayah. Mana mungkin aku mencurinya, itu peninggalan dari ibu, jadi tidak mungkin aku tega……..” belum sempat aku melanjutkan, ayahku sudah menamparku.
“Plaaaakkkk”
“Awwsss” Aku menyentuh pipi yang ditampar ayahku. Aku sedih. Bukan karena ayah menamparku, aku sedih karena ayah sudah tak percaya denganku. Yang aku butuhkan hanyalah sebuah kepercayaan.
“Sudah jangan banyak mengelak, keluar kamu dari rumah ini.” Bentak ayahku, Bisma.
“Hhh, Makasih ayah atas tamparannya, ayah sudah tidak percaya denganku lagi, baiklah aku akan pergi dari rumah ini. Hiks.” Isakku sambil pergi ke kamarku untuk mengemasi barang. Setelah selesai, aku pun berpamitan kepada ayahku, karena aku masih menghormati dia sebagai ayahku.
“Ayah aku pergi, terimakasih atas semuanya.” Aku pun ingin salim kepada ayahku. Namun belum sempat aku salim, ayah sudah menepis tanganku kasar, hingga aku terjatuh.
“Sudah jangan banyak basa-basi. Sana pergi!”
Miris sekali hidupku.
***
“Ya Tuhan, akhirnya aku terbebas dari rumah itu. Aku harap penderitaan ku berakhir sampai disini. Tapi sekarang aku harus kemana? Aku udah enggak punya tujuan hidup. Bahkan, ayahku sendiri sudah tidak percaya kepadaku. Yang aku ingin sekarang hanyalah, bisa hidup bebas seperti kupu-kupu yang berterbangan, hidup tenang seperti air yang mangalir, dan hidup bahagia bersama orang yang aku sayang.” Gumamku sambil berjalan dengan arah yang tak menentu. Dan..
“Brakkkkkkkkkk…”
“Terimakasih Ya Tuhan engkau telah mengabulkan semua keinginan ku.”
-End-
Ini hanya sebuah catatan gajelas ya. cuma pengen ngetest garagara udah lama engga nulis. dan akhirnya jadi cerita yang sederhana dengan alur yang berantakan dan bahasa yang berantakan pula. hehe. Maaf kalau ada yang baca mah :D
Cast : - Riza Putri Karisma
- Bisma Karisma
- Tiara
- Reza Anugrah Karisma
- Rafael
Genre : Gajelas. wks.
*
Dulu keluarga kami adalah keluarga yang paling harmonis. Keluarga yang penuh kasih sayang. Keluarga yang saling melengkapi suatu kekurangan dengan kelebihan yang kami miliki. Bahkan, kami semua saling memberikan motivasi satu sama lain apabila ada yang terjatuh agar mereka bangkit kembali, dan semangat menempuh hidup yang keras ini. Namun semua ini hanya sementara, karena semuanya berubah akibat sebuah takdir yang sulit untuk kami terima, yaitu kehilangan salah satu diantara kami untuk selamanya.
***
Nama aku Riza Putri Karisma. Sekarang aku duduk dibangku kelas 2 SMP. Aku hanya tinggal berdua dengan ayahku, Bisma Karisma. Kemana ibuku? Ibuku sudah meninggal setahun yang lalu. Dan sejak itu, aku dan ayahku hanya mengurusi hidup kita masing-masing. Dulu sering terdengar canda dan tawa antara aku dan ayahku. Namun sejak ibuku meninggal, ayahku menjadi sosok yang cuek dan dingin. Tidak kutemukan lagi kehangatan didalam dirinya, yang kutemukan hanyalah sosok dingin yang tak ku kenali. Meski kita berdua hanya mengurusi hidup masing-masing, tetapi aku tahu bahwa dilubuk hatinya yang paling dalam ayahku masih sangat menyanyangiku, buktinya ia masih mau menghidupiku dan membiayakanku sekolah.
“Riza…” panggil seseorang yang sangat ku kenal.
Riza’s Father POV
Aku pulang kerumah dengan di dampingi seseorang. Dan ia akan ku kenalkan dengan anakku, anak yang sudah lama ku acuhkan, sungguh aku ayah yang sangat jahat, aku mengacuhkan dia karena aku sangat terpukul atas kepergian almarhum istriku, padahal anakku tidak salah apa-apa. Aku pun memanggil anakku, Riza untuk datang menghampriku.
“Riza…” panggilku.
“Iya ayah, ada apa?” sahut Riza.
“Cepatlah keluar, ayah ingin mengenalkanmu kepada seseorang.”
“Iya sebentar ayah.” Tak lama Riza pun datang.
“Riza, ayah ingin mengenalkan mu dengan seseorang yang kelak akan menggantikan posisi ibumu.” Riza yang mendengarkan mendelik tak percaya. Sepertinya perkataan ku sangat membuat Riza kaget.
“Apa ayah? Menggantikan posisi ibu? Tidak. Semua tidak akan terjadi. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi ibu ku ayaaah. Sampai kapanpun tidak akan ada.” Balas Riza dengan berderai airmatamu. Sepertinya pernyataanku itu sangat menyakiti hatinya. Namun aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin mencari pendamping hidup baru agar anakku terurus seperti dahulu, agar ia menjadi anak yang penurut bukan seperti orang lain yang kehilangannya ibunya sehingga menjadi anak yang nakal karena tidak ada yang mengurus.
“Riza bersikap sopan lah.” Sentakku. “Perkenalkan nama dia Tiara.”
“Tiara.” Perempuan disampingku pun mulai memperkenalkan namanya dan mengulurkan tangannya kepada Riza sambil tersenyum, ya menurutku senyuman yang sangat manis.
Riza POV
“Tiara.” Perempuan disamping ayahku pun mulai memperkenalkan namanya dan mengulurkan tangannya kepada ku sambil tersenyum, ya menurutku senyuman yang amat sangat terpaksa.
“Riza.” Dan mau tidak mau aku pun harus membalas uluran tangannya agar ayahku tidak marah.
“Riza, dua bulan lagi ayah akan menikah dengan Tiara, ayah harap kamu tidak akan keberatan.” Kata ayahku.
Hah? Apa? Dua bulan lagi? Itu waktu yang amat sebentar untuk aku mengenali dia. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
“Tidak ayah, aku tidak akan setuju jika ayah menikah lagi.”
“Tapi sayangnya, dengan atau tidak persetujuan kamu, ayah akan tetap menikahi dia.” Tegas ayahku, Bisma.
“Hhhh…” sepertinya aku hanya bisa pasrah.
***
Dua bulan pun berlalu. Dan hari ini tepat ayahku melangsungkan pernikahannya dengan Tiara. Aku sama sekali tidak berniat untuk datang kesana. Sepertinya ayah ku pun tak mempermasalahkan itu. Mungkin ia sudah tidak peduli dengan ku.
“Ibu, Riza enggak mau ayah menikah lagi bu. Dan Riza enggak mau Tante itu menggantikan posisi ibu. Bu, Riza kangen sama ibu. Riza mau curhat sama ibu, hiks. Riza mau ketemu ibu meski hanya lewat mimpi. Riza kesepian bu disini, ayah sudah enggak peduli lagi sama Riza, Riza mau hidup seperti dulu lagi, hiks.” Tangisku seraya memeluk selembar foto ibuku.
“Aku sudah enggak kuat nanggung ini sendirian, aku mau curhat sama Rafa.” Ya Rafa, lebih tepatnya Rafael, ia adalah sahabatku, kami sudah berteman sejak kecil. Dulu banyak yang mengerti aku, tapi sekarang hanya Rafa lah yang mengerti aku. Aku pun memutuskan untuk menelfon Rafa.
“Hiks.. Rafa..”
“Iyaa kenapa, Za? Kok kamu nangis? Bukannya seharusnya kamu sedang hadir dipernikahan ayahmu?” Tanya Rafa.
“Iya Raf, tapi aku enggak mau datang, aku belum sanggup nerima kenyataan raf, hiks, aku enggak mau ayahku menikah lagi, aku enggak mau punya ibu baru, aku takut dia bersikap jahat sama aku, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi Raf, cuma kamu yang aku punya sekarang, hiks, lagipula aku juga enggak bakal merepotkan mu terus, hiks Rafa…”
“Sudaaah tenang yaa, Za. Kalau seandainya ibu baru mu bersikap tidak wajar terhadap kamu. Kamu bilang saja sama kamu, berbagi ceritalah sama aku, buat apa kamu punya sahabat tapi kalau semuanya kamu harus nanggung sendirian? Dan aku tidak akan merasa direpotkanmu.”
“Hikss. Makasih Rafa, udah selalu ada buat aku. Hikss, aku enggak tau bagaimana harus membalasnya.”
“Riza ingat ya. Seorang sahabat enggak mengharapkan perbuatannya dibalas. Asal sahabatnya senang, pasti ia juga ikut senang.” Kata Rafa tulus.
“Hiks, Terimakasih Rafa.”
***
Sudah 7 tahun ayahku Bisma menikah dengan Tiara. Pernikahan itu pun membuahkan seorang anak laki-laki yang sangat menyebalkan. Anak itu sudah berumur 6 tahun. Namanya Reza Anugrah Karisma. Aku sama sekali tidak menyukai kehadirannya. Namun apa boleh buat, aku hanya ingin hidup seperti air yang mengalir. Jadi aku hanya bisa membiarkannya, dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suatu ketika, aku yang sedang belajar diganggu oleh adik tiriku, Reza. Ralat, bukan adik tiri tapi adik kandung, karena kita berasal dari ayah yang sama. Dia ingin mencoret-coret tugasku, namun aku tidak perbolehkan. Reza yang kesal pun, akhirnya melemparkan sebuah vas bunga yang ada didekatnya ke arahku. Vas itu pun berhasil mengenai keningku, kening ku pun mengeluarkan darah, aku tidak berbuat apa-apa, aku hanya menahan sakit yang amat perih dikeningku. Aku pun memegang pecahan vas itu, Dan tiba-tiba ayah dan ibu tiriku datang.
“Riza, apa yang kamu berbuat terhadap adikku mu? Hah?” bentak ayahku. Sedangkan Tiara menghampiri anaknya.
“Sayang, kamu enggak apa-apa kan?” Tanya Tiara kepada Reza.
“Kakak ingin melempar aku dengan itu, mama, hikss.” Adu Reza.
Hei. Apa-apaan ini. Reza yang baru berumur 6 tahun pun sudah bisa memutar balikkan fakta seperti itu.
“Riza enggak ngapa-ngapain yah, malah Reza yang melemparku.”
“Riza bisa-bisanya kamu menyalahkan adikmu, dia itu masih kecil, mana mungkin dia berbohong, kata Reza kamu yang ingin mencelakakannya.” Hhh, apa ayahku tidak bisa melihat keningku sudah berlumuran darah seperti ini.
“Sudah yah, hukum saja Riza, Dia sudah ingin mencelakakan anakku, sehingga Reza ketakutan seperti ini.” Cetus Tiara sinis.
“Sebagai hukumannya kamu ikut ayah ayo.” Aku pun hanya bisa pasrah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kepalaku sudah sangat sakit, aku hanya bisa merintih tertahan menahan sakit. Namun sakit ini tidak sebanding dengan sakit yang ada dihatiku, dimana ayah lebih percaya dengan Reza dibanding aku. Dimana kepercayaan ayah terhadapku? Aku tidak butuh apa-apa, yang aku butuhkan hanyalah sebuah kepercayaan.
“Ingat Riza, kamu enggak boleh keluar sampai besok.” Tegas ayah lalu berlalu dari gudang tersebut. Ya, aku dikurungnya digudang. Sungguh ayah sangat tega, padahal aku sudah sakit seperti ini. Gudang ini sangat penuh dengan barang-barang dan debu, sehingga membuatku sulit untuk bernafas.
“Ya Tuhan, tolong Riza ya Tuhan, Riza udah enggak kuat, ambillah nyawa Riza sekarang Ya Tuhan, Riza mau sama ibu saja di akhirat sana. Hiks, hiks, Riza udah enggak tahan tinggal sama ayah, hiks, hati Riza sakiiiiiit, Riza mau ketemu ibu hiks, Riza mau hidup bahagia seperti kupu-kupu yang terbang bebas diluaran sana, Riza juga ingin hidup tenang ya tuhan seperti air yang mengalir dengan tenang. Riza udah enggak tahan yaa tuhan, hiks, hikss,,” setelah itu pandanganku mulai buram, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Entah dimana sekarang aku berada. Ditempat ini begitu indah, aku bagaikan berada diantara bumi dan akhirat. Aku seperti sudah mati, tapi aku merasa aku masih hidup.
“Riza.”
“Ibuuu?”
“Ini Ibu, nak. Kembalilah sayang.”
“Ini dimana, bu? Tempat ini begitu indah, apalagi ada ibu disini. Aku tidak ingin kembali. Aku mau sama ibu. Hiks.” Rengekku.
“Kamu tidak perlu tahu ini ada dimana. Tidak sayang, kamu tidak bisa ikut ibu, karena belum saatnya kamu bersama ibu.”
“Hiks,, tapi aku kangen ibu.”
“Jika kamu kangen ibu, lihatlah ke atas langit sayang, lihatlah ribuan bintang di atas sana. Carilah bintang yang paling bersinar, itulah ibu yang akan selalu menjagamu diatas sana. Waktu ibu sudah habis, kembali lah nak.” Kata Ibu ku, kemudian semakin lama, bayangan ibuku semakin hilang, hilang, dan hilang sehingga tak terlihat lagi.
“Ibuuuuuuuuuu……..”
“Hhhh, hhh,”
“Ini semua seperti kenyataan, tapi semuanya hanya mimpi. Dan kenapa aku bisa dikamar?” gumamku. Aku bingung, karena aku sudah tak mengingat kejadian sebelumnya. Aku pun keluar kaar, untuk mengambil minum.
“Tiara, semua perhiasan almarhum istriku hilang. Apakah kau melihatnya?” tiba-tiba saat aku menuju dapur, aku mendengar ayahku berbicara, dan aku pun mengupingnya.
“Tidak, mas, karena aku tidak mengusik barang-barang milik almarhum istrimu. Lagipula bila aku mau, aku bisa memintamu untuk membelikannya.” Balas Tiara.
“Lalu, siapa yang mengambil semua perhiasan ini?” Tanya Bisma penuh amarah.
“Mungkin Riza.” What? Kenapa selalu aku yang dibawa-bawa. Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, masuk ke kamar ayah pun tak pernah.
“Apa? Riza?” gumam Bisma.
“Rizaaaaaaaaaaaaa…” pekik Bisma. Aku pun yang dipanggilnya langsung menghampiri ayahku.
“Apa benar kamu yang mencuri semua perhiasan ibumu?” Tanya Bisma.
“Tidak ayah. Mana mungkin aku mencurinya, itu peninggalan dari ibu, jadi tidak mungkin aku tega……..” belum sempat aku melanjutkan, ayahku sudah menamparku.
“Plaaaakkkk”
“Awwsss” Aku menyentuh pipi yang ditampar ayahku. Aku sedih. Bukan karena ayah menamparku, aku sedih karena ayah sudah tak percaya denganku. Yang aku butuhkan hanyalah sebuah kepercayaan.
“Sudah jangan banyak mengelak, keluar kamu dari rumah ini.” Bentak ayahku, Bisma.
“Hhh, Makasih ayah atas tamparannya, ayah sudah tidak percaya denganku lagi, baiklah aku akan pergi dari rumah ini. Hiks.” Isakku sambil pergi ke kamarku untuk mengemasi barang. Setelah selesai, aku pun berpamitan kepada ayahku, karena aku masih menghormati dia sebagai ayahku.
“Ayah aku pergi, terimakasih atas semuanya.” Aku pun ingin salim kepada ayahku. Namun belum sempat aku salim, ayah sudah menepis tanganku kasar, hingga aku terjatuh.
“Sudah jangan banyak basa-basi. Sana pergi!”
Miris sekali hidupku.
***
“Ya Tuhan, akhirnya aku terbebas dari rumah itu. Aku harap penderitaan ku berakhir sampai disini. Tapi sekarang aku harus kemana? Aku udah enggak punya tujuan hidup. Bahkan, ayahku sendiri sudah tidak percaya kepadaku. Yang aku ingin sekarang hanyalah, bisa hidup bebas seperti kupu-kupu yang berterbangan, hidup tenang seperti air yang mangalir, dan hidup bahagia bersama orang yang aku sayang.” Gumamku sambil berjalan dengan arah yang tak menentu. Dan..
“Brakkkkkkkkkk…”
“Terimakasih Ya Tuhan engkau telah mengabulkan semua keinginan ku.”
-End-
Ini hanya sebuah catatan gajelas ya. cuma pengen ngetest garagara udah lama engga nulis. dan akhirnya jadi cerita yang sederhana dengan alur yang berantakan dan bahasa yang berantakan pula. hehe. Maaf kalau ada yang baca mah :D
No comments:
Post a Comment